MAKALAH
LAFADZ YANG TIDAK
TERANG ARTINYA
( KHAFI, MUSYKIL,
MUJMAL dan MUTASYABIH )
Dosen Pengampu: Wawan Gunawan A. Wahid
Mata Kuliah: Ushul Fiqh II
Disusun oleh:
M. Ashari: 13360018
M. Ashari: 13360018
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
KATA
PENGANTAR
بسم
الله الرحمن الرحيم
Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
yang tiada terkira kepada kita semua seluruh makhluk-Nya. Setiap hari, setiap
waktu terus rahmat dan karunia-Nya kita
rasakan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad
SAW, manusia utama yang menjadi panutan
setiap insan di dunia, yang menjadi pembawa alqur’an untuk menjadi rahmad bagi
semesta alam.
Dengan mengucap
syukur atas pertolongan dan karunia-Nya lah, makalah tentang “Lafadz yang Tidak
Terang Artinya ( Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih )” dapat kami
selesaikan. Makalah ini kami perbuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul fiqh II. Makalah yang kami buat ini kiranya menjadi bahan yang berguna
untuk pembelajaran.
Kami memohon maaf
jika masih banyak kekurangan dalam makalah yang kami sajikan ini. Kami berharap
para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Yogyakarta, 16
september 2014
DAFTAR
ISI
Kata pengantar........................................................................................................... 2
Daftar isi............................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................ 4
a. Latar belakang.......................................................................................... 4
b. Tujuan penulisan...................................................................................... 4
c.
Rumusan masalah................................................................... 4
Bab II PEMBAHASAN................................................................... 5
A.
Lafadz-lafadz
yang tidakterangartinya………………………..…….5
1.
Khafi……………………………………………………………...5
2.
Musykil…………………………………………………………...7
3.
Mujmal……………………………………………………………9
4.
Mutasyabih………………………………………………………11
Bab III PENUTUP...................................................................................14
Kesimpulan
...................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA………………………………………….……...15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang
secara garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan hukum
syara’ paraktis dari nash yang ada baik Al-Quran maupun As-Sunnah.
Pembahasan mengenai ilmu ushul fiqih yang bersinggungan dengan nash
maka kajian kebahasaan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan
bagaimana nantinya hasil yang dapat dikeluarkan dari nash tersebut. Dengan
demikian pemahaman atas terori kebahasaan merupakan syarat dalam pengkajian ushul fiqih.
Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz
dari segi maknanya, baik yang jelas maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz yang tidak
bisa di artikan secara langsung ( jelas ) itulah yang menyebabkan banyak
perbedaan penafsiran makna terhadap lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini
akan di bahas mengenai lafadz-lafadz yang tidak terang artinya serta pembagian
dan contohnya.
B.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah adalah :
1.
Mengetahui apa itu lafadz-lafadz yang tidak terang artinya.
2.
Mengetahui apa saja bagian-bagian lafadz yang tidak terang artinya.
3.
Memenuhi tugas mata kuliah
Ushul fiqh II
C.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Lafadz yang tidak terang artinya?
2.
Ada berapa bagian lafadz yang tidak terang artinya?
3.
Apa pengertian dari bagian-bagian lafadz yang tidak terang artinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lafadz-lafadz yang Tidak Terang
Artinya
Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu
lafadz yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz
itu baru dapat di pahami maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz
tersebut. Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham.[1]Jika
nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan
melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi
atau al-musykil. Jika kesamarannya
tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu
sendiri, maka dalil itu disebut al-mujmal.
Dan jika tidak ada jalan sama sekali untuk menghilangkan kesamarannya itu, maka
dalil itu disebut al-mutasyabih. [2]
Ulama’ Ushul telah membagi Lafadz
yang tidak terang pada empat bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan
Mutasyabih.
1)
Khafi
Yaitu:
الخفي هو ماكان في ذانه ظاهر
الدلالة على معنه , ولكن عرض له شيئ من الخفاء بسبب غير لفظه, كأن يكون لبعض افراده
اسم خاصا ووصف يميزه عن غيره[3]
هوماخفيي
مراده بعارض غير الصيغة لاينال الا بالطلب,اي ان معنه ظاهر من لفظه,ولكن وجد سبب
عارض ادى الي خفاء مرادالمتكلم في بعض افراده يحتاج ادراكه الي نظر وتامل[4]
هو ما
خفي معنه في بعض مدلولاته, لعارض غير الصيغة بل من تطبيقه علي مدلولاته. ويقول فيه
فخر الاسلام البزدوى هوماأشتبه معناه . وخفي مراده بعارض خارج الصيغة لاينال
الابالطلب[5]
Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan ( dilalah
)-nya yang di sebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz sendiri.[6]
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan
artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan
lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran
dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.[7]
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan
arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari
satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan
penalaran dan takwil.
Sumber kesamaran dalam lafadz itu di sebabkan karena dalam
salahsatu satuan artinya ( afradnya ) mengandung sifat tambahan di bandingkan
dengan satuan arti yang lainnya. Bisa juga karena kurang sifatnya atau karena
mempunyai nama khusus.Karena ada kelebihan atau kekurangan sifat itu atau ada
nama khusus itu, menyebabkan artinya diragukan. Kesamaran arti lafadz itu
dihubungkan dalam konteks satuan arti tersebut.
Contoh lafadz khafi ini adalah lafadz ” السارق = pencuri” yang mana
sudah cukup jelas artinya yaitu “ Orang yang mengambil harta yang bernilai
milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”.
Penerapan hukuman terhadap pencuri juga jelas, namun lafadz “ pencuri “ itu mempunyai satuan arti
yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan, dan lain
sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan
dengan pencuri dalam arti di atas. Apakah sanksi hukuman potong tangan di
perlakukan terhadap semua satuan arti itu.Disinilah letak kesamaran dan ketidak
jelasan itu. Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui
penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus di tetapkannya hukum
atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafadz atau “penyempitan” dalam
penerapannya.[8]
Menurut ijtihad telah ditetapkan secara mufakad diwajibkannya memotong tangan
pencopet, yang diambil dari jalan dalalah nash, sebab hukum ini lebih cocok,
mengingat bahwa alasan memotong lebih terpenuhi bagi pengertian copet.
2)
Musykil
Yaitu:
هو اللفظ
الذي خفي معناه المراد بسبب في نفس اللفظ ، بحيث لايدرك الابالتأمل وبقرينة تبين المرادمنه ،وهو يقابل النص[9]
المشكل
هو الذي خفي معنه بسبب في ذات اللفظ[10]
المشكل
هو ما خفيت دلالته علي معناه لذاته[11]
Suatu lafadz yang samar artinya, di sebabkan oleh lafadz itu
sendiri.
Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di
atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak
menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya di perlukan qarinah dari luar yang
menjelaskan apa yang di maksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri.
Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan
yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya
melihat kepada lafadz itu.
Umpamanya lafadz القرء dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang
berbunyi:
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
Yang bermakna ganda yaitu “suci” dan “haid”.Manakah diantara kedua arti itu yang
dimaksud dalam ayat tersebut, iddah( masa tenggang waktu ) wanita yang dijatuhi
thalak itu tiga haid ataukah tiga kali masa suci?. Imam Syafi’I dan sebagian mujtahid
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah suci. Petunjuknya yaitu memberikan tanda
perempuan pada nama bilangan. Karena menurut bahasa, hal itu menunjukkan bahwa
al-ma’dud adalah mudzakkar, yaituالاطهار (suci ) dan bukanالحيضات
( haid ). Sedangkan Ulama’ Hanafiyyah dan
sekelompok mujtahid lain berpendapat bahwa kata tersebut adalah haid.
Petunjuknya adalah:
1. Hikmah disyari’atkannya hukum iddah bagi wanita
yang dijatuhi thalak adalah untuk mengetahui bersihnya Rahim wanita itu dari benih-benih
kehamilan, dan sesuatu yang dapat menunjukkan
hal ini adalah haid bukan suci.
2. Firman Allah SWT. Q.S. Ath-Talak ( 65 ) : 4
والئ يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة
اشهر والئ يحضن
3. Sabda Rasulullah SAW:
طلاق الامة اثنتان وعدتها حيضتان
Cara untuk menghilangkan kesulitan
al-musykil adalah dengan ijtihad. Apabila dalam nash itu terdapat lafadz yang
musytarak, seorang mujtahid harus berusaha menemukan qarinah-qarinah dan dalil-dalil
yang dijadikan oleh syari’ untuk menghilangkan kesulitan lafadz itu dan menentukan
pengertiannya. Sebagaimana dimaklumi betapa jelas ijtihad para mujtahid ketika menentukan pengertian lafadz القرء dalam ayat tersebut,
serta perbedaan orientasi pandangan mujtahid dalam menentukan ini. Apabila terdapat
beberapa nash sedang dzahirnya nampak terdapat perbedaan dan pertentangan, maka seorang mujtahid harus mentakwilkan nash dengan
benar dan dapat memberikan kejelasan nash-nash itu, sehingga seorang mujtahid dapat
memberikan petunjuk pentakwilan ini dalam bentuk keterangan, selain berupa nash-nash
yang lain, juga berupa kaidah-kaidah syara’ atau hikmah pembentukan hukum.[12]
Adanya
arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafadz tersebut
termasuk dalam lafadz musykil.[13]
حكم
المشكل : هو وجوب البحث والتأمل في المعنى المراد من اللفظ المشكل، ثم العمل بما
تبين المراد منه، بالقرائن والادلة[14]
3)
Mujmal
Yaitu :
المجمل هو الذي ينطوي في معنه علي عدة واحوال واحكام
قدجمعت فيه[15]
هواللفظ
الذي خفي المرادمنه بنفس اللفظ خفاءلايدرك الاببيان من المتكلم به [16]
هو
ماخفيت دلالته علي معناه لذاته [17]
Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum
yang terkumpul di dalamnya.
Lafadz mujmal ini lebih tidak jelas di bandingkan dengan lafadz-lafadz
sebelumnya, karena lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui secara pasti
artinya. Tambahan dari itu tidak ada qarinah yang memberi petunjuk. Oleh karena
itu, untuk mengetahui apa sebenarnya yang di maksud dari lafadz itu sepenuhnya
tergantung pada penjelasan dari yang mengucapkan lafadz itu, dalam hal ini
adalah Nabi. Umpamanya kata shalat dan zakat yang terdapat dalam alqur’an,
namun secara bahasa tidak dapat dipahami artinya. Untuk itu penjelasannya di serahkan kepada
Nabi.[18]
Tentang bagaimana sifat
mujmal yang sudah diberi penjelasan oleh Nabi, dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal
setelah mendapatkan penjelasan dari Nabi menjadi “ mufassar “ sehingga tidak
mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah memperoleh
penjelasan, kadang-kadang menjadi zhahir atau nash, dan kadang-kadang menjadi
mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi muhkam.Karena banyak kemungkinannya,
maka tidak dapat dipastikan untuk satu
diantara macam-macam kemungkinan tersebut.[19] Jadi
sebab kesamaran dalam al-mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru
datang.
Apabila dalam nash syara’ diantara lafadz-lafadznya terdapat lafadz,
dan lafadz itu adalah mujmal, maka pengertiannya
harus ditangguhkan sampai ada penafsiran terhadap lafadz itu oleh syari’
sendiri. Karena itu ada al-sunnah dalam bentuk amal perbuatan atau ucapan untuk
menafsirkan sholat dan menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat dan cara-caranya.
حكم
المجمل : التوقف في تعيين المرادمنه في عهدالرسالة حتى يبينه المتكلم به[20]
4)
Mutasyabih
Yaitu :
هو ما
خفي بنفس اللفظ وانقطع رجاء معرفةالمراد منه لمن اشتبه عليه[21]
هو اللفظ
الذي يخفى معناه[22]
هو ما
خفيت دلالته على معناه لذاته[23]
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan
pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz
mutasyabih adalah lafadz yang samar
artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighatnya
sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan
menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut
tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu
kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan
dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1.
Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan
surat dalam alqur’an.
2.
Ayat-ayat yang menurut dzahirnya mempersamakan Allah yang Maha
Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut
arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang
) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok
yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi
kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an
pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i ), sedangkan lafadz yang mutasyabih dan
yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan (
dzanni ).[24]
Seperti lafadz yang terdapat pada firman
Allah SWT:
طه, ص, حم
يدالله
فوق ايديهم
“ Tangan Allah
diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)
Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang
terdapat pada beberapa permulaan surat( didalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan
artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki daripadanya. Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula
ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya,
dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT.
Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu
yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka
syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya.
Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih.
Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan
mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
Pendapat ulama’ khalaf adalah bahwa ayat-ayat
tersebut dzahirnya mustahil, sebab Allah
SWT. Tidak memiliki tangan, mata dan tempat. Segala sesuatu yang secara dzahiriyyah
mustahil pengertiannya harus dita’wilkan dan dipalingkan dari arti dzahirnya,
serta dimaksudkan dengannya arti yang dikandung oleh kata tersebut sekalipun dengan
jalan majaz. Di dalamnya tidak terdapat penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya.
Seperti “ tangan Allah diatas tangan mereka
” ta’wilnya ialah “ kekuasaan Allah di
atas kekuasaan mereka “.
Sumber timbulnya perbedaan ini ialah perbedaan
mereka dalam memahami firman Allah SWT. Tentang ayat mutasyabihat:
وما يعلم تأويله الاالله والرّاسخون في العلم يقولون
امنّا به كل من عند ربّنا “
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan
orang-orang yang mendalami ilmunya berkata: “ Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan
kami “.( Q.S. Ali Imran:7 ).
Orang yang memberi tanda berhenti setelah lafadz
الله,
maka dia akan berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui arti ayat mutasyabihat
kecuali Allah SWT. Kita mengimani dan menyerahkan artinya kepada Allah, serta tidak
melakukan ta’wil atasnya. Sedang orang yang member tanda berhenti setelah lafadzوالراسحون في العلمberarti dia berpendapat bahwa tidak ada
yang dapat mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya.
Mereka mengetahui ta’wilnya dengan mendatangkan arti yang dikandung oleh lafadz
yang sesuai, serta memahasucikan sang Khaliq dari menyerupai makhluk-Nya.[25]
حكم متشابه:
هناك طريقتان عندعلماءالكلام والتوحيد لمعرفة حكم المتشابه, وهما طريقة السلف
وطريقةالخلف[26]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Lafadz yang
tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi
lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya.
Ø Lafadz yang tidak terang ini terbagi pada empat
bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
Ø Perbedaan
antara lafadz mujmal dengan khafi dan musykil adalah bahwa lafadz mujmal tidak
mungkin diketahui rincian maksudnya hanya semata-mata mengandalkan dan melihat
pada lafadznya sebagaimana yang berlaku pada khafi dan tidak pula dengan semata-mata
pada penalaran dan penafsiran lafadz sebagaiman yang berlaku pada musykil.
Ø Bahwasannya
mutasyabih itu lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa
persamaan.Sehingga terjadilah perbedaan pengertian menurut ulama’ khalaf dan
salaf.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Az-zuhaili,
Wahbah, 1986, Ushulul Fiqh Al islami, Darul Fikri.
·
Hasaballah, Ali, 1119, Ushul Tasyri’al-Islam, Kairo: Darul Ma’arif.
·
Syarifuddin,
Amir , 2012, Garis-Garis Besar
Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media.
·
Syarifuddin,
Amir, 2008, Ushul Fiqh Jilid II,
Jakarta: Kencana Prenada Media.
·
zahra,
Abu, 1958, Ushulul fiqh, Kairo: Darul fikri al-arabi.
·
Khalaf,
Abdul Wahab, Alih Bahasa Helmy, Masdar, 1997, Ilmu Ushulul Fiqh,
Bandung: Gema Risalah Press.
Group, 2012.hlm.101
[2] Prof. Dr. Abdul Wahab
Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H.
Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh,
Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.297
[3]Ali Hasaballah,
UshulutTasyrik al- Islami, kaero : Darul Ma’arif,1119. hlm.263
[4]Wahbah az
zuhaili, Ushululfiqh al islami,
Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 336
[5]Abu Zahra, Ushulfiqh,Darul
Fikri, 1958 M, hlm. 124
[6]Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012.hlm.102
[7]Prof. Dr. Abdul Wahab
Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H.
Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh,
Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.298
[8]Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,
Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 13-14
[12]Prof. Dr. Abdul Wahab
Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H.
Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh,
Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.301
[13]Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,
Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 16-17
[14]Wahbah az
zuhaili, Ushululfiqh al islami,
Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 340
[15]Abu Zahra, Ushulfiqh,Darul
Fikri, 1958 M, hlm. 131
[16]Wahbah az
zuhaili, Ushululfiqh al islami,
Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 340
[17]Ali Hasaballah,
UshulutTasyrik al- Islami, kaero : Darul Ma’arif,1119. hlm.262
[18]Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012.hlm.104-105
[19]Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,
Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 21
[21]Ibid hlm.342
[22]Abu Zahra, Ushulfiqh,Darul
Fikri, 1958 M, hlm. 134
[23]Ali Hasaballah,
UshulutTasyrik al- Islami, kaero : Darul Ma’arif,1119. hlm.261
[24]Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,
Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 22
[25][25]Prof. Dr. Abdul Wahab
Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H.
Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh,
Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.308-311
[26]Wahbah az
zuhaili, Ushululfiqh al islami,
Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 343
goblok
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterima kasih sangat membantu
BalasHapus