Kamis, 01 Januari 2015

Posted by Unknown |


MAKALAH
LAFADZ YANG TIDAK TERANG ARTINYA
( KHAFI, MUSYKIL, MUJMAL dan MUTASYABIH )




Dosen Pengampu: Wawan Gunawan A. Wahid
Mata Kuliah: Ushul Fiqh II
Disusun oleh:
M. Ashari: 13360018

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015





KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
          Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat yang tiada terkira kepada kita semua seluruh makhluk-Nya. Setiap hari, setiap waktu terus rahmat dan karunia-Nya  kita rasakan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW, manusia utama yang menjadi  panutan setiap insan di dunia, yang menjadi pembawa alqur’an untuk menjadi rahmad bagi semesta alam.
            Dengan mengucap syukur atas pertolongan dan karunia-Nya lah, makalah tentang “Lafadz yang Tidak Terang Artinya ( Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih )” dapat kami selesaikan. Makalah ini kami perbuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh II. Makalah yang kami buat ini kiranya menjadi bahan yang berguna untuk pembelajaran.
            Kami memohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam makalah yang kami sajikan ini. Kami berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.





Yogyakarta, 16 september 2014




DAFTAR ISI

Kata pengantar........................................................................................................... 2
Daftar isi............................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................ 4
a.       Latar belakang.......................................................................................... 4
b.      Tujuan penulisan...................................................................................... 4
c.      Rumusan masalah................................................................... 4
Bab II PEMBAHASAN................................................................... 5
A.    Lafadz-lafadz yang tidakterangartinya………………………..…….5
1.      Khafi……………………………………………………………...5
2.      Musykil…………………………………………………………...7
3.      Mujmal……………………………………………………………9
4.      Mutasyabih………………………………………………………11
Bab III PENUTUP...................................................................................14
Kesimpulan ...................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA………………………………………….……...15




BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang secara garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan hukum syara’ paraktis dari nash yang ada baik Al-Quran maupun As-Sunnah.
Pembahasan mengenai ilmu ushul fiqih yang bersinggungan dengan nash maka kajian kebahasaan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan bagaimana nantinya hasil yang dapat dikeluarkan dari nash tersebut. Dengan demikian pemahaman atas terori kebahasaan  merupakan syarat dalam pengkajian ushul fiqih.
Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz dari segi maknanya, baik yang  jelas  maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz yang tidak bisa di artikan secara langsung ( jelas ) itulah yang menyebabkan banyak perbedaan penafsiran makna terhadap lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan di bahas mengenai lafadz-lafadz yang tidak terang artinya serta pembagian dan contohnya.


B.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah adalah :
1.      Mengetahui apa itu lafadz-lafadz yang tidak terang artinya.
2.      Mengetahui apa saja bagian-bagian lafadz yang tidak terang artinya.
3.      Memenuhi tugas mata kuliah  Ushul fiqh II


C.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Lafadz yang tidak terang artinya?
2.      Ada berapa bagian lafadz yang tidak terang artinya?
3.      Apa pengertian dari bagian-bagian lafadz yang tidak terang artinya?





BAB II
PEMBAHASAN

A.   Lafadz-lafadz yang Tidak Terang Artinya
Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru dapat di pahami maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham.[1]Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi atau al-musykil. Jika kesamarannya tidak bisa dihilangkan kecuali dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-mujmal. Dan jika tidak ada jalan sama sekali untuk menghilangkan kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih. [2]
Ulama’ Ushul telah membagi Lafadz  yang tidak terang pada empat bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
1)      Khafi
Yaitu:

الخفي هو ماكان في ذانه ظاهر الدلالة على معنه , ولكن عرض له شيئ من الخفاء بسبب غير لفظه, كأن يكون لبعض افراده اسم خاصا ووصف يميزه عن غيره[3]
هوماخفيي مراده بعارض غير الصيغة لاينال الا بالطلب,اي ان معنه ظاهر من لفظه,ولكن وجد سبب عارض ادى الي خفاء مرادالمتكلم في بعض افراده يحتاج ادراكه الي نظر وتامل[4]
هو ما خفي معنه في بعض مدلولاته, لعارض غير الصيغة بل من تطبيقه علي مدلولاته. ويقول فيه فخر الاسلام البزدوى هوماأشتبه معناه . وخفي مراده بعارض خارج الصيغة لاينال الابالطلب[5]

Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan ( dilalah )-nya yang di sebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz sendiri.[6]
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.[7]
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Sumber kesamaran dalam lafadz itu di sebabkan karena dalam salahsatu satuan artinya ( afradnya ) mengandung sifat tambahan di bandingkan dengan satuan arti yang lainnya. Bisa juga karena kurang sifatnya atau karena mempunyai nama khusus.Karena ada kelebihan atau kekurangan sifat itu atau ada nama khusus itu, menyebabkan artinya diragukan. Kesamaran arti lafadz itu dihubungkan dalam konteks satuan arti tersebut.
Contoh lafadz khafi ini adalah lafadz ” السارق = pencuri” yang mana sudah cukup jelas artinya yaitu “ Orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”. Penerapan hukuman terhadap pencuri juga jelas, namun  lafadz “ pencuri “ itu mempunyai satuan arti yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan, dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti di atas. Apakah sanksi hukuman potong tangan di perlakukan terhadap semua satuan arti itu.Disinilah letak kesamaran dan ketidak jelasan itu. Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus di tetapkannya hukum atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafadz atau “penyempitan” dalam penerapannya.[8] Menurut ijtihad telah ditetapkan secara mufakad diwajibkannya memotong tangan pencopet, yang diambil dari jalan dalalah nash, sebab hukum ini lebih cocok, mengingat bahwa alasan memotong lebih terpenuhi bagi pengertian copet.

2)      Musykil

Yaitu:
هو اللفظ الذي خفي معناه المراد بسبب في نفس اللفظ ، بحيث لايدرك الابالتأمل وبقرينة  تبين المرادمنه ،وهو يقابل النص[9]
المشكل هو الذي خفي معنه بسبب في ذات اللفظ[10]
المشكل هو ما خفيت دلالته علي معناه لذاته[11]
Suatu lafadz yang samar artinya, di sebabkan oleh lafadz itu sendiri.
Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya di perlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang di maksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
Umpamanya lafadz القرء dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
Yang  bermakna ganda yaitu “suci” dan “haid”.Manakah diantara kedua arti itu yang dimaksud dalam ayat tersebut, iddah( masa tenggang waktu ) wanita yang dijatuhi thalak itu tiga haid ataukah tiga kali masa suci?. Imam Syafi’I dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud adalah suci. Petunjuknya yaitu memberikan tanda perempuan pada nama bilangan. Karena menurut bahasa, hal itu menunjukkan bahwa al-ma’dud adalah mudzakkar, yaituالاطهار  (suci ) dan bukanالحيضات ( haid ). Sedangkan Ulama’  Hanafiyyah dan sekelompok mujtahid lain berpendapat bahwa kata tersebut adalah haid. Petunjuknya adalah:
1.      Hikmah disyari’atkannya hukum iddah bagi wanita yang dijatuhi thalak adalah untuk mengetahui bersihnya Rahim wanita itu dari benih-benih kehamilan, dan sesuatu  yang dapat menunjukkan hal ini adalah haid bukan suci.
2.      Firman Allah SWT. Q.S. Ath-Talak ( 65 ) : 4
والئ يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئ يحضن
3.      Sabda Rasulullah SAW:
طلاق الامة اثنتان وعدتها حيضتان
Cara untuk menghilangkan kesulitan al-musykil adalah dengan ijtihad. Apabila dalam nash itu terdapat lafadz yang musytarak, seorang mujtahid harus berusaha menemukan qarinah-qarinah dan dalil-dalil yang dijadikan oleh syari’ untuk menghilangkan kesulitan lafadz itu dan menentukan pengertiannya. Sebagaimana dimaklumi betapa jelas ijtihad para mujtahid  ketika menentukan pengertian lafadz القرء dalam ayat tersebut, serta perbedaan orientasi pandangan mujtahid dalam menentukan ini. Apabila terdapat beberapa nash sedang dzahirnya nampak terdapat perbedaan dan pertentangan,  maka seorang mujtahid harus mentakwilkan nash dengan benar dan dapat memberikan kejelasan nash-nash itu, sehingga seorang mujtahid dapat memberikan petunjuk pentakwilan ini dalam bentuk keterangan, selain berupa nash-nash yang lain, juga berupa kaidah-kaidah syara’ atau hikmah pembentukan hukum.[12]
Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafadz tersebut termasuk dalam lafadz musykil.[13]

حكم المشكل : هو وجوب البحث والتأمل في المعنى المراد من اللفظ المشكل، ثم العمل بما تبين المراد منه، بالقرائن والادلة[14]
3)      Mujmal
Yaitu :
المجمل هو الذي ينطوي في معنه علي عدة واحوال واحكام قدجمعت فيه[15]
هواللفظ الذي خفي المرادمنه بنفس اللفظ خفاءلايدرك الاببيان من المتكلم به [16]
هو ماخفيت دلالته علي معناه لذاته [17]
Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.
Lafadz mujmal ini lebih tidak jelas di bandingkan dengan lafadz-lafadz sebelumnya, karena lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui secara pasti artinya. Tambahan dari itu tidak ada qarinah yang memberi petunjuk. Oleh karena itu, untuk mengetahui apa sebenarnya yang di maksud dari lafadz itu sepenuhnya tergantung pada penjelasan dari yang mengucapkan lafadz itu, dalam hal ini adalah Nabi. Umpamanya kata shalat dan zakat yang terdapat dalam alqur’an, namun secara bahasa tidak dapat dipahami artinya.  Untuk itu penjelasannya di serahkan kepada Nabi.[18]
Tentang  bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi penjelasan oleh Nabi, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah mendapatkan penjelasan dari Nabi menjadi “ mufassar “ sehingga tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah memperoleh penjelasan, kadang-kadang menjadi zhahir atau nash, dan kadang-kadang menjadi mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi muhkam.Karena banyak kemungkinannya, maka tidak dapat dipastikan  untuk satu diantara macam-macam kemungkinan tersebut.[19] Jadi sebab kesamaran dalam al-mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang.
Apabila dalam nash syara’ diantara lafadz-lafadznya terdapat lafadz, dan lafadz itu adalah mujmal,  maka pengertiannya harus ditangguhkan sampai ada penafsiran terhadap lafadz itu oleh syari’ sendiri. Karena itu ada al-sunnah dalam bentuk amal perbuatan atau ucapan untuk menafsirkan sholat dan menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat dan cara-caranya.
حكم المجمل : التوقف في تعيين المرادمنه في عهدالرسالة حتى يبينه المتكلم به[20]
4)      Mutasyabih
Yaitu :

هو ما خفي بنفس اللفظ وانقطع رجاء معرفةالمراد منه لمن اشتبه عليه[21]
هو اللفظ الذي يخفى معناه[22]
هو ما خفيت دلالته على معناه لذاته[23]
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah  lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighatnya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1.    Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat dalam alqur’an.
2.    Ayat-ayat yang menurut dzahirnya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang ) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i ), sedangkan lafadz yang mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan ( dzanni ).[24]
Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه,   ص,   حم
يدالله فوق ايديهم
“ Tangan Allah diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)

Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan surat( didalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki daripadanya.  Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
Pendapat ulama’ khalaf adalah bahwa ayat-ayat tersebut dzahirnya mustahil,  sebab Allah SWT. Tidak memiliki tangan, mata dan tempat. Segala sesuatu yang secara dzahiriyyah mustahil pengertiannya harus dita’wilkan dan dipalingkan dari arti dzahirnya, serta dimaksudkan dengannya arti yang dikandung oleh kata tersebut sekalipun dengan jalan majaz. Di dalamnya tidak terdapat penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya. Seperti “ tangan  Allah diatas tangan mereka ”  ta’wilnya ialah “ kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka “.
Sumber timbulnya perbedaan ini ialah perbedaan mereka dalam memahami firman Allah SWT. Tentang ayat mutasyabihat:

وما يعلم تأويله الاالله والرّاسخون في العلم يقولون امنّا به كل من عند ربّنا “ Padahal tidak ada  yang  mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata: “ Kami beriman kepada ayat-ayat  yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan  kami “.( Q.S. Ali Imran:7 ).

Orang yang memberi tanda berhenti setelah lafadz الله, maka dia akan berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui arti ayat mutasyabihat kecuali Allah SWT. Kita mengimani dan menyerahkan artinya kepada Allah, serta tidak melakukan ta’wil atasnya. Sedang orang yang member tanda berhenti setelah lafadzوالراسحون في العلمberarti dia berpendapat bahwa tidak ada yang dapat mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya. Mereka mengetahui ta’wilnya dengan mendatangkan arti yang dikandung oleh lafadz yang sesuai, serta memahasucikan sang Khaliq dari menyerupai makhluk-Nya.[25]


حكم متشابه: هناك طريقتان عندعلماءالكلام والتوحيد لمعرفة حكم المتشابه, وهما طريقة السلف وطريقةالخلف[26]













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ø  Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya.

Ø  Lafadz  yang tidak terang ini terbagi pada empat bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.

Ø  Perbedaan antara lafadz mujmal dengan khafi dan musykil adalah bahwa lafadz mujmal tidak mungkin diketahui rincian maksudnya hanya semata-mata mengandalkan dan melihat pada lafadznya sebagaimana yang berlaku pada khafi dan tidak pula dengan semata-mata pada penalaran dan penafsiran lafadz sebagaiman yang berlaku pada musykil.

Ø  Bahwasannya mutasyabih itu lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.Sehingga terjadilah perbedaan pengertian menurut ulama’ khalaf dan salaf.
















DAFTAR PUSTAKA

·         Az-zuhaili, Wahbah, 1986, Ushulul Fiqh Al islami, Darul Fikri.
·         Hasaballah, Ali, 1119, Ushul Tasyri’al-Islam,  Kairo: Darul Ma’arif.
·         Syarifuddin, Amir , 2012, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media.
·         Syarifuddin, Amir, 2008, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana Prenada Media.
·         zahra, Abu, 1958, Ushulul fiqh, Kairo: Darul fikri al-arabi.
·         Khalaf, Abdul Wahab, Alih Bahasa Helmy, Masdar, 1997, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press.




[1] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media
     Group, 2012.hlm.101

[2] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh,
 Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.297

[3]Ali Hasaballah, UshulutTasyrik al- Islami, kaero : Darul Ma’arif,1119. hlm.263

[4]Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 336
[5]Abu Zahra, Ushulfiqh,Darul Fikri, 1958 M, hlm. 124

[6]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media     Group, 2012.hlm.102

[7]Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.298


[8]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 13-14

[9]Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 338


[10]Abu Zahra, Ushulfiqh,Darul Fikri, 1958 M, hlm. 128


[11]Ali Hasaballah, UshulutTasyrik al- Islami, kaero : Darul Ma’arif,1119. hlm.263


[12]Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.301

[13]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 16-17

[14]Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 340

[15]Abu Zahra, Ushulfiqh,Darul Fikri, 1958 M, hlm. 131

[16]Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 340

[17]Ali Hasaballah, UshulutTasyrik al- Islami, kaero : Darul Ma’arif,1119. hlm.262


[18]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media     Group, 2012.hlm.104-105

[19]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 21

[20][20]Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 341

[21]Ibid  hlm.342

[22]Abu Zahra, Ushulfiqh,Darul Fikri, 1958 M, hlm. 134

[23]Ali Hasaballah, UshulutTasyrik al- Islami, kaero : Darul Ma’arif,1119. hlm.261

[24]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 22

[25][25]Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.308-311

[26]Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 343

3 komentar: